30 Contoh Tembung Saloka yang Menarik dan Menginspirasi

30 Contoh Tembung Saloka yang Menarik dan Menginspirasi

Posted on

Tembung Saloka

Tembung saloka adalah salah satu bentuk puisi tradisional Jawa yang sangat indah dan bermakna. Dalam tembung saloka, kata-kata diatur dalam pola yang teratur, sehingga menghasilkan kalimat atau ayat yang mengandung nilai-nilai filosofis dan pesan moral yang sangat berarti. Budaya Jawa sangat kaya dan memiliki banyak kearifan lokal yang tergambarkan dalam tembung saloka.
30 Contoh Tembung Saloka yang Menarik dan Menginspirasi
Seiring dengan perkembangan zaman, kita seringkali melupakan nilai-nilai dan tradisi yang dimiliki oleh nenek moyang kita. Budaya dan kesenian tradisional mulai tergeser oleh budaya modern dan teknologi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengapresiasi dan melestarikan budaya dan kesenian tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, termasuk tembung saloka.
Melalui tembung saloka, banyak pesan moral dan kearifan lokal yang dapat dipelajari dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang terkandung dalam tembung saloka sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Kita dapat belajar tentang pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup, menjaga hati yang suci dan murni, serta belajar dari pengalaman sekitar untuk menjadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.

Pengertian Tembung Saloka

Tembung saloka terdiri dari dua kata, yaitu “tembung” yang berarti kata dan “saloka” yang berarti aturan atau kaidah. Jadi, tembung saloka dapat diartikan sebagai kaidah atau aturan untuk mengatur kata-kata dalam puisi. Tembung saloka memiliki beberapa ciri khas, seperti:
  • Terdiri dari 4 baris yang diawali dengan kata-kata tertentu.
  • Setiap baris terdiri dari 8-9 suku kata.
  • Ada kaidah tertentu dalam penggunaan kata-kata dan penyusunan kalimat.

Contoh Tembung Saloka

Contoh-contoh tembung saloka yang menarik dan menginspirasi dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan mengapresiasi budaya dan kesenian tradisional, kita dapat mempelajari kearifan lokal yang sangat berharga dan mengembangkan diri secara holistik.
Berikut adalah beberapa contoh tembung saloka yang menarik dan menginspirasi:
    1. “Sinau ing mripat, silih tunggilah wus njaga”

mangesake: sinaua saking lingkungan sawentawis, amargi sa pengalaman sampun cekap kangge menjaganipun sampeyan.
artinya: Belajarlah dari lingkungan sekitar, karena satu pengalaman sudah cukup untuk menjagamu.

    1. “Rebutan cahya, ambruk batang kacang”

manegesake: usaha kangge angsal punapa-punapa tanpa pertimbangan ajeng[badhe] ngrisak kathah bab.
artinya: Berusaha untuk mendapatkan sesuatu tanpa pertimbangan akan merusak banyak hal.

    1. “Koyo udel, koyo awan putih”

manegesake: kados manah ingkang suci, kados awan pethak ingkang alus.
artinya: Seperti hati yang suci, seperti awan putih yang lembut.

    1. “Uripku dadi tanah, kersane dadi awan”

manegesake: gesang kula kados siti , nanging takdir kula kados awan.
artinya: Hidup saya seperti tanah, namun takdir saya seperti awan.

    1. “Duka sing berat jenenge, tur pesona sing terang rasane”

manegesake: kesedihan ingkang awrat naminipun, nanging keindahan ingkang padhang raosipun.
artinya: Kesedihan yang berat namanya, tetapi keindahan yang terang rasanya.

    1. “Idu didilat maneh”

manegesake: Uwong kang menehi dijaluk bali maneh utawa murungake janji kang wis diucapake
artinya: Orang yang sudah memberi kemudian meminta kembali pemberiannya atau membatalkan janji yang diucapkan.

    1. “Kebo ilang tombok kandhang”

manegesake: Uwong wis kelangan isih mbutuhake wragat kanggo nggoleki barang sing ilang mau
artinya: Orang yang sudah kehilangan tapi masih membutuhkan biaya untuk mencari barang yang hilang tadi.

    1. “Belon metu seton”

manegesake: Melu ing grubug nanging ora weruh ing rembug.
artinya: Orang yang hanya ikut-ikutan saja, tanpa mengetahui maksudnya.

    1. “Asu belang kalung wang”

manegesake: Uwong ala utawa wong asor nanging sugih.
artinya: Orang jelek, rendah, atau jahat tetapi kaya.

    1. “Klenthing wadhah masin”

manegesake: Uwong kang angel ninggalake pakulinan sing ora becik
artinya: Orang yang berat meninggalkan kebiasaan buruk.

    1. “Asu gedhe menang kerahe”

manegesake: Uwong luwih dhuwur pangkate lan luwih gedhe panguasane biasane menang perkarane.
artinya: Orang yang lebih tinggi derajat pangkatnya biasanya menang permasalahannya.

    1. “Ati bengkong oleh oncong”

manegesake: Uwong kang duwe niat ala, ana sing nyarujuki oleh dalane.
artinya: Orang yang punya niat buruk/ jahat ada yang mendukung dan mendapat jalan.

    1. “Kebo mulih ing kandange”

manegesake: Uwong lelungan golek pakaryan, banjur uwis kasil lan bisa bali menyang panggonan asale.
artinya: Orang yang rantau untuk mencapai pekerjaan, kemudian menghasilkan sesuatu dan bisa kembali ke asalnya.

    1. “Kemladheyan ngajak sempal”

manegesake: Sanak sedulur kang ngajak marang kesusahan.
artinya: Sanak saudara yang mengajak kepada keburukan.

    1. “Baladewa ilang gapite”

manegesake: Uwong kang ilang kekuwatane
artinya: Orang yang kehilangan kekuatannya.

    1. “Bathok bolu isi madu”

manegesake: wong asor nanging sugih kapinteran
artinya: Orang rendahan tetapi kaya pengetahuan.

    1. “Iwak klebu wuwu”

manegesake: Kena apusan kanthi gampang nemu bebaya, ora bisa diobati maneh.
artinya: Orang yang mudah ditipu atau mudah menemukan bahaya, tidak bisa dihindari lagi.

    1. “Tunggak kemadhuh”

manegesake: Tilas mungsuh.
artinya: Bekas musuh.

    1. “Pitik trondhol diumbaring padaringan”

manegesake: Uwong ala kang dipasrahi njaga barang kekaremane, wekasane malah ngentek-entekake.
artinya: Orang jahat yang diberi kepercayaan menjaga barang yang disukainya akhirnya malah merusak dan merugikan.

    1. “Gong lumaku tinabuh”

manegesake: Uwong kang tansah kumudu-kudu ditakoni, utawa dijaluki piwulang
artinya: Orang yang selalu dimintai petuah atau dimintai ilmu pengetahuan.

    1. “Kebo nusu gudel”

manegesake: Wong tuwo sing njaluk warahan marang wong enom.
artinya: Orang tua yang minta diajari orang yang lebih muda.

    1. “Bebek mungsuh mliwis”

manegesake: Wong pinter mungsuh wong pinter.
artinya: Orang pandai yang bersaing dengan orang pandai juga.

    1. “Gajah ngidak rapah”

manegesake: Uwong sing ngelanggar wewalere dewe.
artinya: Orang yang melanggar aturannya sendiri.

    1. “Sumur lumaku tiniba”

manegesake: Uwong sing kumudu-mudu dijaluki warah.
artinya: Seseorang yang tergesa-gesa dimintai petunjuk.

    1. “Yuyu rumpung mbarong ronge”

manegesake: Omahe magrong-magrong, nanging sajatine kekurangan
artinya: Rumahnya besar tetapi sebenarnya orang yang miskin.

    1. “Kriwikan-dadi grojogan”

manegesake: Prekara cilik dadi prakara gedhe tur ngambra-ambra.
artinya: Permasalahan kecil menjadi besar dan menjadi-jadi.

    1. “Jati ketlusuban ruyung”

manegesake: Golongan uwong kang becik klebon wong ala wateke.
artinya: Golongan orang baik yang kedatangan orang berwatak tidak baik.

    1. “Kebo bule mati setra”

manegesake: Uwong pinter, nanging kapinterane ora ana kang merlokake kapinterane amarga ing tengahing pategalan.
artinya: Orang pandai tapi kepandaiannya tidak ada yang membutuhkan karena berada di tempat yang tidak semestinya.

    1. “Tumbu oleh tutup”

manegesake: Uwong wis cocok karo karepe.
artinya: Orang yang sudah cocok dengan keinginannya.

    1. “Opor bebek mentas awake dhewek”

manegesake: Uwong kang ngrampungi saka rekadayane dhewe
artinya: Orang yang menyelesaikan permasalahan karena usahanya sendiri.

Oleh karena itu, mari kita jangan lupakan warisan budaya dan kesenian tradisional yang dimiliki oleh bangsa kita. Kita harus menghargai dan melestarikannya agar kekayaan budaya tersebut dapat terus dikenal oleh generasi-generasi mendatang. Dengan begitu, kita dapat memperkaya diri dengan kearifan lokal yang sangat berharga dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya dan seni tradisional.

Pertanyaan Umum Terkait Tembung Saloka

    • Apa yang dimaksud dengan tembung saloka?

Tembung saloka adalah bentuk puisi tradisional Jawa yang mengatur kata-kata dalam pola yang teratur.

    • Apa ciri khas tembung saloka?

Tembung saloka terdiri dari 4 baris, setiap baris terdiri dari 8-9 suku kata, dan ada kaidah tertentu dalam penggunaan kata-kata dan penyusunan kalimat.

    • Apa contoh-contoh tembung saloka yang menarik dan menginspirasi?

Beberapa contoh tembung saloka yang menarik dan menginspirasi antara lain: “Sinau ing mripat, silih tunggilah wus njaga”, “Rebutan cahya, ambruk batang kacang”, dan “Koyo udel, koyo awan putih”. Ketiga contoh tembung saloka tersebut mengandung pesan moral yang sangat berarti.

    1. “Sinau ing mripat, silih tunggilah wus njaga”, mengajarkan kita untuk belajar dari pengalaman sekitar. Dalam kehidupan, kita tidak boleh hanya bergantung pada pengetahuan yang kita miliki, melainkan juga harus membuka pikiran kita untuk mempelajari hal-hal baru yang ada di sekitar kita. Dengan begitu, kita dapat menjadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.
    2. “Rebutan cahya, ambruk batang kacang”, mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup. Kita seringkali terjebak dalam persaingan yang tidak sehat dalam mencapai tujuan kita. Namun, hal tersebut dapat merusak hubungan sosial kita dengan orang lain dan juga lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kita harus selalu berpikir dengan hati-hati sebelum bertindak.
    3. “Koyo udel, koyo awan putih”, mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga hati yang suci dan murni. Kehidupan yang sehat tidak hanya membutuhkan kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental dan spiritual. Dengan menjaga hati yang suci dan murni, kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang dan bahagia.

Kesimpulan Tembung Saloka

Tembung saloka, sebagai bentuk puisi tradisional Jawa, sangat indah dan bermakna karena kata-kata diatur dalam pola yang teratur sehingga mengandung nilai-nilai filosofis dan pesan moral yang sangat berarti. Beberapa contoh tembung saloka yang menarik dan menginspirasi dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga dengan mengapresiasi budaya dan kesenian tradisional, kita dapat mempelajari kearifan lokal yang sangat berharga dan mengembangkan diri secara holistik. Tembung saloka tidak hanya dianggap sebagai puisi, namun juga memiliki nilai-nilai filosofis yang sangat tinggi dalam budaya Jawa, sehingga melalui tembung saloka, banyak pesan moral dan kearifan lokal yang dapat dipelajari dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, contoh tembung saloka dapat dijadikan sebagai inspirasi dan pedoman untuk mengapresiasi dan melestarikan budaya dan kesenian tradisional, yang sangat berharga dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya dan seni tradisional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *