Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula adalah salah satu karya sastra Jawa Kuno yang berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuno. Karya sastra ini ditulis dalam bentuk pupuh atau puisi Jawa yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu pupuh Kinanthi, Mijil, dan Sinom. Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula diyakini ditulis oleh seorang penyair bernama Rangga Warsita pada abad ke-18 Masehi.
Serat 1 Tripama Pupuh Dhandhanggula
Yogyanira kang para prajurit,
lamun bisa samya anuladha,
kadya nguni caritane,
andelira sang Prabu,
Sasrabau ing Maespati,
aran Patih Suwanda,
lalabuhanipun,
kang ginelung tri prakara,
guna kaya purune kang den antepi,
nuhoni trah utama.
(Yogyane (becike) para prajurit, kabeh bisa niru (nyonto) kaya dongengan jaman kuna, andel-andele sang Prabu Sasrabau ing negara Maespati, sing asmane Patih Suwanda. Lelabuhane (jasa) kang diantepi dening patih Suwanda marang negara digelung (diringkes, dipadukan) dadi siji yaiku: guna, kaya, purun, nuhoni (ngantepi) trahing wong utama.
Penjelasannya:
Serat di atas merupakan bagian dari Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula. Isi dari serat tersebut menjelaskan tentang pepeling (ajaran) yang diandalkan oleh prajurit dalam memperkuat sikap ksatria. Serat tersebut menyebutkan bahwa prajurit harus belajar dari dongeng-dongeng kuno yang bercerita tentang kebijaksanaan, terutama dalam hal berperang.
Serat tersebut juga mengandung kisah tentang Patih Suwanda yang menjadi tangan kanan Sang Prabu Sasrabau, penguasa di negara Maespati. Patih Suwanda memiliki jasa besar dalam memperkuat negara tersebut, melalui upaya dalam memperkuat tiga hal, yaitu: guna, kaya, dan purun. Selain itu, ia juga menghormati trah (keturunan) wong utama, yang menunjukkan bahwa sikap hormat dan menghargai orang lain sangat penting dalam kehidupan.
Dalam keseluruhan isi serat, terdapat pesan moral yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pepeling yang diajarkan dalam Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan sikap ksatria, yaitu sikap yang berani, bijaksana, dan mempunyai tanggung jawab tinggi terhadap negara dan rakyat.
Serat 2 Tripama Pupuh Dhandhanggula
Lire lalabuhan tri prakawis,
guna bisa saneskareng karya,
binudi dadi unggule,
kaya sayektinipun,
duk bantu prang Manggada nagri,
amboyong putri domas,
katur ratunipun,
purune sampun tetela,
aprang tandhing lan ditya Ngalengka aji,
Suwanda mati ngrana.
(Tegese lelabuhan telung prakara yaiku : 1. guna, bisa mrantasi gawe supaya dadi unggul, 2. kaya : nalika paprangan negara Manggada, bisa mboyong putri dhomas, diaturake marang ratu, 3. purun : kekendale wis nyata nalika perang tandhing karo Dasamuka, ratu negara Ngalengka, patih Suwanda gugur ing madyaning paprangan.)
Penjelasannya:
Lalabuhan dalam tiga prakara, menjadi simbol penting dalam kehidupan bangsa dan negara. Melalui lalabuhan, kita dapat meraih tiga prinsip penting untuk mewujudkan kemajuan dan keberhasilan dalam berbagai bidang.
Pertama, prinsip guna. Dalam membangun suatu karya, kita harus memiliki tujuan yang jelas dan mampu memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Dengan memanfaatkan segala sumber daya dengan baik, kita dapat mencapai hasil yang optimal dan unggul. Prinsip ini menjadi sangat penting bagi bangsa kita yang sedang berjuang untuk mencapai kemajuan.
Kedua, prinsip kaya. Dalam berbagai aspek kehidupan, kekayaan menjadi faktor penting dalam mencapai tujuan. Kekayaan dapat mempermudah kita dalam menyelesaikan berbagai masalah dan mengatasi tantangan yang dihadapi. Di sisi lain, kekayaan juga dapat menjadi sumber daya untuk membantu orang lain. Prinsip kaya ini dapat membantu kita untuk membangun negara yang makmur dan sejahtera.
Ketiga, prinsip purun. Dalam perjalanan menuju keberhasilan, kita pasti akan menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Prinsip purun mengajarkan kita untuk selalu berjuang dengan keras dan gigih dalam menghadapi segala tantangan. Dengan tekad yang kuat dan semangat yang tinggi, kita pasti dapat melewati berbagai rintangan dan mencapai keberhasilan yang diinginkan.
Melalui lalabuhan ini, kita dapat mengambil pelajaran penting dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat memanfaatkan prinsip guna, kaya, dan purun untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan dalam berbagai bidang kehidupan. Mari kita terus memperjuangkan kemajuan bangsa dan negara kita dengan penuh semangat dan tekad yang kuat!
Serat 3 Tripama Pupuh Dhandhanggula
Wonten malih tuladhan prayogi,
satriya gung nagari Ngalengka,
sang Kumbakarna namane,
tur iku warna diyu,
suprandene nggayuh utami,
duk awit prang Ngalengka,
dennya darbe atur,
mring raka amrih raharja,
Dasamuka tan keguh ing atur yekti,
de mung mungsuh wanara.
(Ana maneh conto sing prayoga (becik) yaiku satriya agung ing negara Ngalengka sing asmane Kumbakarna. Sanadyan wujude buta, parandene kepengin nggayuh kautaman. Nalika wiwit perang Ngalengka dheweke nduwe atur marang ingkang raka supaya Ngalengka tetep slamet (raharja). Dasamuka ora nggugu guneme Kumbakarna, jalaran mung mungsuh bala kethek.)
Penjelasannya:
Terdapat sebuah contoh yang patut dicontoh dalam serat ini, yaitu satriya agung dari negara Ngalengka yang bernama Kumbakarna. Meski memiliki wujud yang kurang menarik, Kumbakarna tetap bersemangat untuk mencapai keberhasilan. Ketika perang di Ngalengka dimulai, ia memberikan petunjuk kepada raja agar tetap aman dan damai. Walau Dasamuka tidak menyerang Kumbakarna secara langsung, dia hanya mengirimkan bala tentara kera. Namun Kumbakarna tidak gentar dan berhasil menahan serangan itu.
Dalam hidup ini, seringkali kita harus menghadapi rintangan dan tantangan yang sulit. Kita harus belajar dari semangat Kumbakarna, yaitu tidak menyerah dan terus berjuang untuk mencapai keberhasilan. Kita juga harus memperhatikan keamanan dan kesejahteraan orang di sekitar kita, seperti Kumbakarna yang memastikan Ngalengka tetap aman dan damai.
Mari kita teladani semangat Kumbakarna dalam menghadapi setiap rintangan, dan selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita. Dengan demikian, kita akan mencapai keberhasilan dan kesuksesan yang lebih besar dalam hidup ini.
Serat 4 Tripama Pupuh Dhandhanggula
Kumbakarna kinen mangsah jurit,
mring kang raka sira tan lenggana,
nglungguhi kasatriyane,
ing tekad datan purun,
amung cipta labuh nagari,
lan nolih yayah rena,
myang leluhuripun,
wus mukti aneng Ngalengka,
mangke arsa rinusak ing bala kapi,
punagi mati ngrana.
(Kumbakarna didhawuhi maju perang, ora mbantah jalaran nglungguhi (netepi) watak satriyane. Tekade ora gelem, mung mikir labuh negara, lan ngelingi bapak ibune sarta leluhure, sing wis mukti ana ing Ngalengka, saiki arep dirusak bala kethek. Luwih becik gugur ing paprangan.)
Penjelasannya:
Kumbakarna, pahlawan agung, maju berperang dengan tekad yang kuat, tanpa ragu menghadapi lawan yang jauh lebih kuat. Ia berjuang untuk melindungi kehormatan ksatria dan mempertahankan keutuhan negara. Cita-citanya yang mulia adalah untuk menciptakan kedamaian di seluruh negeri, mewujudkan impian leluhurnya yang telah merdeka di Ngalengka. Kumbakarna memang gugur di medan perang, tetapi ia tak pernah menyerah dan selalu bertarung dengan semangat yang tinggi. Meski ia terbunuh, tetapi jasanya tidak akan pernah dilupakan dan menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu berjuang dengan semangat yang sama dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan kehidupan.
Serat 5 Tripama Pupuh Dhandhanggula
Yogya malih kinarya palupi,
Suryaputra Narpati Ngawangga,
lan Pandhawa tur kadange,
len yayah tunggil ibu,
suwita mring Sri Kurupati,
aneng nagri Ngastina,
kinarya gul-agul,
manggala golonganing prang,
Bratayuda ingadegken senapati,
ngalaga ing Korawa.
(Ana maneh sing kena digawe patuladhan yaiku R. Suryaputra ratu ing negara Ngawangga. Karo Pandhawa isih sadulur seje bapa tunggal ibu. R. Suryaputra suwita marang Prabu Kurupati ing negara Ngastina. Didadekake manggalaning (panglima ) prajurit Ngastina nalika ing perang Bratayuda.)
Penjelasannya:
Di Yogya, masih ada kejayaan kerajaan yang dipimpin oleh Suryaputra, putra dari Narpati Ngawangga. Bersama dengan Pandhawa, ia memiliki satu ayah tetapi berbeda ibu. Mereka dihormati oleh Sri Kurupati di Nagri Ngastina. Mereka menetapkan strategi perang dengan baik dan sukses memimpin prajurit Ngastina dalam pertempuran Bratayuda melawan Korawa.
Meskipun cerita pewayangan ini hanya fiksi, ada banyak nilai positif yang dapat dipetik dari cerita ini, seperti strategi perang yang baik dan penghormatan pada pemimpin yang bijaksana. Semoga kita dapat mempelajari pelajaran berharga dari cerita seperti ini dan menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Serat 6 Tripama Pupuh Dhandhanggula
Minungsuhken kadange pribadi,
aprang tandhing lan sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahe,
dene sira pikantuk,
marga dennya arsa males-sih,
ira sang Duryudana,
marmanta kalangkung,
dennya ngetog kasudiran,
aprang rame Karna mati jinemparing,
sumbaga wirotama.
(Dimungsuhake karo sedulure dhewe, yaiku R. Arjuna (Dananjaya). Prabu Karna seneng banget atine jalaran oelh dalan kanggo males kabecikane Prabu Duryudana. Mulane banget anggone ngetog kasudiran (kekendelan). Wusanane Karna gugur kena panah. Kondhang minangka prajurit kang utama).
Penjelasannya:
Dalam pertempuran itu, R. Arjuna (Dananjaya) berhasil mengalahkan Prabu Karna, meskipun Karna memiliki keahlian yang sangat tinggi. Karna sebenarnya adalah saudara seperguruan R. Arjuna, namun karena kesetiaannya pada Prabu Duryudana, Karna memilih untuk bertarung melawan R. Arjuna. Meskipun begitu, R. Arjuna berhasil mengalahkan Karna dan memperoleh kemenangan yang gemilang.
Namun, perang bukanlah tentang mengalahkan musuh semata. Perang harus diakhiri dengan perdamaian yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam perang itu, R. Arjuna harus memiliki sikap yang optimis dan argumentatif dalam menghadapi musuhnya. Dia harus memastikan bahwa kedua belah pihak akan saling menghormati dan bekerja sama untuk membangun dunia yang lebih baik.
Oleh karena itu, meskipun kemenangan R. Arjuna sangat besar dalam pertempuran itu, dia harus tetap mempertahankan sikapnya yang optimis dan argumentatif untuk menciptakan perdamaian yang sejati. Dia harus menunjukkan keberanian dan kebijaksanaannya dalam memimpin bangsanya menuju masa depan yang lebih baik.
Serat 7 Tripama Pupuh Dhandhanggula
Teks serat yang dibawah ini berisi tentang petuah-petuah kebijaksanaan yang diberikan oleh para leluhur pada masa lalu. Isinya mengajarkan tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari nilai-nilai kebaikan dan keberanian, hingga strategi perang yang cerdas. Dalam menafsirkan makna-makna yang terkandung di dalam serat tersebut, ada beberapa kata yang perlu diperhatikan.
Kata-kata tersebut antara lain “yogyanira” yang berarti “sebaiknya”, “prajurit” yang berarti “bala” atau “tentara”, “lelabuhanipun” yang berarti “jasa”, “guna” yang berarti “kepandaian”, “purun” yang berarti “keberanian”, “trah” yang berarti “keturunan”, “arsa” yang berarti “akan”, “palupi” yang berarti “contoh”, dan masih banyak lagi.
Makna-makna tersebut dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita bisa mengambil contoh dari perilaku para prajurit yang memiliki keberanian untuk menghadapi perang. Kita juga bisa belajar dari nilai-nilai yang terkandung dalam kata “guna” yang mengajarkan tentang pentingnya memiliki kepandaian dan kemampuan dalam menjalani kehidupan.
Selain itu, serat ini juga mengajarkan tentang pentingnya bersikap optimis dalam menghadapi segala situasi. Hal ini tercermin dari kata “marsudi” yang berarti “berusaha” atau “berjuang”. Dalam menghadapi situasi apapun, kita harus memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk terus berusaha dan mengupayakan segala yang kita inginkan.
Dalam konteks kehidupan yang semakin kompleks dan dinamis seperti saat ini, serat ini bisa menjadi sumber inspirasi dan pedoman bagi kita semua. Kita dapat mengambil nilai-nilai kebijaksanaan dari para leluhur dalam menghadapi tantangan hidup yang semakin berat. Mari kita jadikan serat ini sebagai bahan refleksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan sukses di masa depan.
Katri mangka sudarsaneng Jawi,
pantes lamun sagung pra prawira,
amirita sakadare,
ing lalabuhanipun,
aja kongsi mbuwang palupi,
manawa tibeng nistha,
ina esthinipun,
sanadyan tekading buta,
tan prabeda budi panduming dumadi,
marsudi ing kotaman.
(Conto telu-telune mau minangka patuladhan tanah Jawa. Becik (pantes) yen sakabehe para perwira nuladha sakadare (sakuwasane). Aja nganti mbuwang conto, jalaran yen tibaning apes dadi ina. Sanadyan tekade buta, ora beda kalawan titah liya, nggolek kautaman.)
Tegese tembung :
yogyanira = becike, sebaiknya.
prajurit = bala, tantra, saradhadhu, bala koswa, tentara.
kadya = lir, pindha, kaya, seperti.
nguni = jaman biyen, dahulu kala.
andelira = andel-andele , andalan.
lelabuhanipun = jasane, jasa.
ginelung = diringkes, dipadukan.
guna = kapinteran, kepandaian.
kaya = bandha donya, kekayaan.
purun = wani, gelem, keberanian.
nuhoni = netepi, menepati.
trah = turun, tedhak, keturunan
utama = becik, apik, terbaik.
lir = kaya, teges, makna, arti.
saneskareng = saneskara + ing = samubarang, sakabehe, sembarang.
karya = gawe, kardi, pekerjaan.
binudi = budi + in = diupayakake, diusahakan.
sayekti = sayektos, temene, sesungguhnya.
duk = nalika, ketika.
dhomas = 800. samas = 400.
tetela = cetha, terang, jelas.
aprang tandhing = perang ijen lawan ijen, perang satu lawan satu.
ditya = buta, raseksa, diyu, wil, danawa, raksasa.
ngrana = ing paprangan, palagan, pabaratan, medan perang.
suprandene = parandene, sanajan mangkono, walaupun demikian.
darbe = duwe, mempunyai.
raka = kakang, kakak.
raharja = slamet, wilujeng, rahayu, rahajeng, selamat, sejahtera.
de mung = dene mung , jalaran mung, hanya karena.
wanara = kethek, kapi, rewanda, kera.
kinen = ken + in = dikongkon, diutus, diperintah.
mangsah jurit = maju perang, menuju ke medan laga.
sira = dheweke, piyambakipun, panjenenganipun, dia.
lenggana = nolak, mbantah, menolak.
datan = tan, ora, tidak.
labuh = berjuang.
yayah rena = bapak ibu, ayah dan ibu.
myang = lan, dan
arsa = arep, ayun, apti, akan.
punagi = sumpah.
palupi = conto, sudarsana, tuladha, contoh.
narpati = ratu, raja, katong, narapati, naradipati, narendra, raja.
kadang = sedulur, saudara.
suwita = ngabdi, menghamba.
kinarya = karya + in = digawe, dipakai.
agul-agul = andel-andel, andalan.
manggala = panglima
senapati = pangedhene prajurit, pemimpin perang, panglima perang.
manahe = atine, hatinya.
pikantuk = oleh, mendapat.
marmanta = marma + anta = sebabe, sebabnya.
kasudiran = kekendelan, kasekten, kesaktian.
jinemparing = jemparing + in = dipanah.
sumbaga = kondhang, kaloka, kajanapriya, terkenal.
wirotama = wira + utama = prajurit pinunjul, prajurit yang hebat.
katri = katelu, ketiga.
sudarsaneng = sudarsana + ing = conto.
amirita = nirua, ikutilah.
kongsi = nganti, sampai.
dumadi = titah, makhluk.
marsudi = ngupaya, nggoleki, berusaha.
kotaman = ka+ utama+ an = keutamaan.
Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula mengandung banyak nilai kebijaksanaan yang masih relevan dan bermanfaat hingga saat ini. Berikut ini adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang terkandung dalam serat tersebut.
Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula tidak hanya sekedar karya sastra Jawa Kuno yang indah untuk dibaca, namun juga memiliki pesan moral dan kebijaksanaan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa cara untuk mengaplikasikan kebijaksanaan yang terdapat dalam Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kesimpulannya, Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula tidak hanya memiliki nilai seni yang tinggi, tetapi juga memiliki pesan moral dan kebijaksanaan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengaplikasikan kebijaksanaan ini, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan menciptakan hubungan yang lebih sehat dan bahagia dengan orang-orang di sekitar kita.